Beranda | Artikel
Kaidah Ke-37 : Jika Dua Orang Pelaku Muamalah Berselisih Keberpihakan Diberikan yang Kuat Alasannya
Selasa, 24 Februari 2015

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Ketiga Puluh Tujuh

إِذَا اخْتَلَفَ الْمُتَعَامِلاَنِ فِي شَيْءٍ مِنْ مُتَعَلَّقَاتِ الْمُعَامَلَةِ يُرَجَّحُ أَقْوَاهُمَا دَلِيْلاً

Jika dua orang pelaku muamalah berselisih tentang suatu hal berkaitan dengan muamalah itu maka keberpihakan diberikan kepada yang lebih kuat alasannya

MAKNA KAIDAH
Kaidah ini menjadi rujukan dalam kasus perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak pelaku akad muamalah, baik jual beli, sewa menyewa, gadai, atau selainnya. jika terjadi perselisihan di antara mereka berkaitan dengan persyaratan, harga, atau hal-hal lainnya, maka pihak yang lebih kuat alasannya yang lebih dikuatkan perkataannya. Dalam akad jual beli, misalnya, adakalanya yang lebih dikuatkan adalah perkataan si penjual dan adakalanya yang lebih dikuatkan adalah perkataan si pembeli.

Dalam kasus perselisihan semacam ini, sering kali penyelesaiannya dikembalikan kepada hukum asal dari permasalahan yang bersangkutan. Di antaranya jika terjadi perselisihan tentang ada tidaknya persyaratan tambahan, maka hukum asalnya persyaratan itu tidak ada. Demikian pula, jika suatu akad jual beli telah selesai dan dinyatakan sah kemudian salah satu pihak menyatakan bahwa jual beli itu tidak sah karena sebab tertentu, maka keputusannya berpihak kepada orang yang menyatakannya sah, karena hukum asal suatu akad yang telah terjadi adalah sah. Demikian pula, berkaitan dengan cacat pada barang yang diperjual belikan, jika telah terjadi akad jual beli kemudian si pembeli menyatakan ada cacat pada barang maka hukum asalnya cacat tersebut tidak ada, kecuali jika ada bukti pendukung. Dan hukum-hukum asal lainnya sebagaimana dijelaskan para Ulama.[1]

DALIL YANG MENDASARINYA
Di antara dalil yang mendasari kaidah ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu :

البَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ

Bukti itu wajib didatangkan oleh orang yang menuduh dan sumpah wajib bagi orang yang mengingkarinya.[2]

Demikian pula disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu :

إِذَا اخْتَلَفَ الْمُتَعَامِلاَنِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٌ فَالْقَوْلُ مَا يَقُوْلُ رَبُّ السِّلْعَةِ أَوْ يَتَرَادَّانِ

Jika terjadi perselisihan antara dua orang yang melakukan muamalah dan tidak ada bukti pendukung antara keduanya maka perkataan berpihak kepada pemilik barang atau keduanya saling membatalkan jual beli itu.[3]

CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Kaidah ini mempunyai contoh penerapan yang cukup banyak, terutama berkaitan dengan permasalahan muamalah. Di antaranya :

1. Jika seseorang menjual rumahnya kepada orang lain. Beberapa waktu kemudian, ia mengatakan bahwa rumah tersebut masih dalam status gadai.[4] Dengan perkataannya itu, ia ingin membatalkan jual beli. Maka, perkataannya tidak diterima, karena hukum asal dalam akad jual beli adalah sah. Kecuali jika ia bisa mendatangkan bukti yang menunjukkan bahwa rumah tersebut berstatus gadai, maka perkataannya diterima.[5]

2. Apabila seseorang telah membeli sebuah mobil. Selang beberapa hari kemudian ia datang kepada si penjual dan mengatakan ada cacat pada mobil itu. Tujuannya mendapatkan hak khiyar.[6] Maka hukum asal dari dakwaan ini adalah tidak diterima kecuali jika si pembeli bisa mendatangkan bukti kebenaran dakwaannya tersebut. Karena hukum asal dari barang yang sudah dibeli adalah bebas dari aib (cacat).[7]

3. Dua orang melakukan akad jual beli suatu barang. Selang beberapa waktu kemudian, si penjual mengatakan bahwa jual beli itu tidak sah, karena ketika pelaksanaan akadnya dulu ia belum baligh.[8] Sedangkan si pembeli mengatakan bahwa jual beli itu sah. Maka dalam kasus ini perkataan si pembeli yang dimenangkan karena asal dalam akad jual beli adalah sah, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa akad itu tidak sah.[9]

4. Seseorang menjual sebuah mobil kepada orang lain. Dua hari kemudian, ia datang kepada si pembeli seraya mengatakan bahwa jual beli itu tidak sah karena dilaksanakan setelah adzan shalat Jum’at.[10] Sedangkan si pembeli mengatakan bahwa jual beli itu sah karena dilaksanakan di luar waktu itu. Maka perkataan berpihak kepada si pembeli. Karena hukum asal suatu akad jual beli adalah sah. Maka, dalam kasus ini si penjual harus mendatangkan bukti bahwa jual beli itu memang dilaksanakan setelah adzan shalat Jum’at. Jika ia tidak punya bukti, maka kita katakan kepada si pembeli supaya bersumpah bahwa jual beli itu terjadi di luar waktu tersebut dan dihukumi akan sahnya jual beli itu.[11]

5. Jika seorang pembeli mengatakan adanya unsur jahalah (ketidakjelasan) atas barang yang ia beli, dan mengatakan bahwa ia tidak melihat barang ketika dilaksanakannya transaksi. Dengan tujuan untuk membatalkan jual beli tersebut. Maka, asalnya perkataan tersebut tidak diterima karena hukum asal dalam akad jual beli adalah sah. Demikian pula, keberadaan si pembeli yang membawa barang tersebut menunjukkan bahwa perkataannya tidak benar. Jika memang benar apa yang ia katakan, tentu ketika akan menerima barang ia menolak menerimanya karena adanya unsur jahalah.[12]

KETERANGAN TAMBAHAN
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa apabila terjadi perselisihan antara dua orang yang melakukan muamalah, maka dilihat siapa di antara keduanya yang lebih kuat alasan atau buktinya. Namun, suatu ketika timbul permasalahan baru, yaitu jika ternyata keduanya sama-sama mempunyai bukti yang kuat sehingga tidak bisa ditentukan perkataan pihak mana yang lebih dikuatkan. Dalam kasus seperti ini, para Ulama menjelaskan bahwa jual beli tersebut dibatalkan. Yaitu dengan cara si pembeli mengembalikan barang yang telah ia bawa dan si penjual mengembalikan uang yang telah ia dapatkan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu :

إِذَا اخْتَلَفَ الْمُتَعَامِلاَنِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٌ فَالْقَوْلُ مَا يَقُوْلُ رَبُّ السِّلْعَةِ أَوْ يَتَرَادَّانِ

Jika terjadi perselisihan antara dua orang yang melakukan muamalah dan tidak ada bukti pendukung antara keduanya maka perkataan berpihak kepada pemilik barang atau keduanya saling membatalkan jual beli itu. [13]

Namun demikian, jika salah satu pihak mau mengalah dan ridha dengan perkataan pihak lainnya maka ini pun diperbolehkan. Misalnya dalam kasus jual beli yang pembayarannya ditunda, terjadi perselisihan antara si penjual dan pembeli berkaitan dengan harga barang yang semula telah disepakati, dikarenakan lupa, atau sebab-sebab lainnya. Si penjual menyebutkan harga yang lebih tinggi daripada harga yang disebutkan si pembeli. Sedangkan tidak ada bukti yang lebih menguatkan salah satu dari keduanya. Kemudian si pembeli mengalah dan rela dengan harga yang disebutkan si penjual, maka ini termasuk dalam kategori perdamaian yang diperbolehkan.[14]

Wallâhu a’lam.[15]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Syarh al-Qawâ’id as-Sa’diyah, Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil, Dar Athlas al-Kahadhra’ li an-Nasyri wa-at-Tauzi’, Hlm. 212.
[2]. HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, Kitabud Da’awâ wa al-Bayyinât, Bâb al-Bayyinât ‘ala al-Mudda’i, 10/202. Asal hadits ini ada dalam Shahîhul Bukhâri no. 4277 dan Muslim 1/1711.
[3]. HR. Ahmad dalam Musnadnya 1/466, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 5/333 dan at-Tirmidzi 1/240. Derajat hadits ini shahih li ghairihi dengan mengumpulkan semua jalannya. Lihat Syarh al-Qawâ’id as-Sa’diyah, Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil, Dar Athlas al-Kahadhra’ li an-Nasyri wa at-Tauzi’, Hlm. 213-215.
[4]. Barang yang sedang dalam status gadai tidak boleh diperjual belikan. Sebagaimanan disebutkan dalam salah satu bait dalam Manzhumah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah karya Syaikh Abdurrahman as-Sa’di
[5]. Syarh Manzhûmah Ushûlil Fiqh wa Qawâ’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cetakan Pertama, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hlm. 268.
[6]. Yaitu hak untuk meneruskan atau membatalkan jual beli tersebut. Lihat Minhâjul Muslim, Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Tahun 2002 M, Dar Ibni al-Haitsam, Kairo, Hlm. 284.
[7]. Syarh al-Qawâ’id as-Sa’diyah, Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil, Dar Athlas al-Kahadhra’ li an-Nasyri wa-at-Tauzi’, Hlm. 216.
[8]. Transaksi jual beli yang dilakukan anak yang belum baligh tidak sah kecuali dengan izin walinya. Lihat as-Syarh al-Mumti’ ‘alâ Zâd al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Cetakan Pertama, Tahun 1422 H, Dar Ibn al-Jauzi, Damam, Hlm. 111.
[9]. Sebagian Ulama berpendapat bahwa dalam kasus seperti ini, asalnya yang lebih dikuatkan adalah perkataan si penjual. Karena ada hukum asal lain yang lebih kuat, yaitu bahwa hukum asal seseorang adalah belum baligh. Maka dalam kasus tersebut yang wajib bagi si penjual adalah bersumpah bahwa ketika pelaksanaan akad ia belum sampai usia baligh dan jual beli itu dihukumi tidak sah. Ini tidak bertentangan dengan kaidah yang menjelaskan bahwa hukum asal suatu akad adalah sah, karena ada hukum asal lain yang lebih kuat darinya. Lihat Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawa’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cetakan Pertama, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hlm. 268.
[10]. Jual beli setelah dikumandangkannya adzan shalat Jum’at termasuk kategori jual beli yang dilarang sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Jumu’ah/62: 9
[11]. Syarh Manzhûmah Ushûlil Fiqh wa Qawâ’idihi, hlm. 267.
[12]. Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawa’idihi, hlm. 268.
[13]. HR. Ahmad dalam Musnadnya 1/466, al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra 5/333 dan at-Tirmidzi 1/240. Derajat hadits ini adalah shahih li ghairihi dengan mengumpulkan semua jalannya. Lihat Syarh al-Qawâ’id as-Sa’diyah, Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil, Dar Athlas al-Kahadhra’ li an-Nasyri wa at-Tauzi’, Hlm. 213-215.
[14]. Lihat at-Ta’lîq ‘alal Qawâ’id wa al-Ushûlil Jâmi’ah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Cetakan pertama, 1430 H, Muassasah as-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin al-Khairiyyah, Unaizah, hlm. 207.
[15]. Diangkat dari al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Cetakan kedua. 1422 H/2001 M, Dar al-Wathan li an-Nasyr, Riyadh, Hlm. 89. Dengan beberapa tambahan dari referensi lainnya.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4076-kaidah-ke-37-jika-dua-orang-pelaku-muamalah-berselisih-keberpihakan-diberikan-yang-kuat-alasannya.html